Jumat, 28 September 2012

Tawuran Pelajar Kian Mengerikan

Sepanjang 2012 Terjadi 11 Tawuran




Dua kasus perkelahian pelajar yang terjadi di Jakarta, masing-masing pada Senin (24/9/12) dan Rabu (26/9/12), menambah panjang deretan kekerasan antarpelajar. Alawy Yusianto Putra (15) dan Deny Yanuar (17) tewas setelah masing-masing dibacok di dada dan dikeroyok.
Kasus perkelahian antara SMAN 6 dan SMAN 70 yang menewaskan Alawy serta antara SMA Yake dan SMA Setia Bhakti yang menewaskan Deny bukanlah kejadian pertama.
"Tercatat sepanjang 2012, telah terjadi perkelahian pelajar sebanyak sebelas kali. Dari sebelas kejadian, ada 5 korban jiwa," jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto, Kamis (27/9/12) di Mapolda Metro Jaya. Tahun lalu jumlah korban jiwa sebanyak lima orang.
Dari sebelas tawuran pelajar tahun ini, tiga di antaranya terjadi antarmahasiswa. Ketiganya melibatkan mahasiswa dari Kampus UPI YAI dan kampus UKI. Kedua kampus itu sama-sama berlokasi di Jalan Diponegoro, Kelurahan Kenari, Jakarta Pusat.
Selain itu, tawuran juga terjadi di Jalan Matraman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Peristiwa itu menimbulkan dua korban luka. Adapun tawuran di Jalan Ampera, Bekasi Timur, mengakibatkan satu orang tewas dan dua orang kritis.
Di Bundaran Bulungan, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jaksel, tawuran antarmurid SMA mengakibatkan 5 pelajar SMA Negeri 6 dan 2 pelajar SMA Negeri 70 mengalami luka-luka. Bentrok di lokasi tersebut juga mengakibatkan satu anggota Patko Res Jaksel terluka.
Sementara itu, di Jalan Kramat Raya, Senen, Jakpus, tawuran menyebabkan seorang korban luka. Seorang korban tewas dalam tawuran di Stasiun Panjang Buaran, Duren Sawit, Jakarta Timur. Demikian juga seorang korban tewas di Jalan Raya Sawangan, Mampang Pancoran Mas, Depok.
Rikwanto menjelaskan, polisi telah memetakan titik-titik lokasi rawan tawuran di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Lokasi tersebut adalah sebagai berikut:
  • Jalan Petojo Gambir
  • Jalan Kramat Jaya Senen
  • Jalan Letjen Suprapto Cempaka Putih (Jakpus)
  • Jalan Yos Sudarso
  • Jalan RE Martadinata Tanjung Priok (Jakut)
  • Tambora/Jembatan Besi
  • Jalan Daan Mogot (Jakbar)
  • Kawasan Bulungan
  • Jalan Buncit Raya
  • Jalan Bukit Duri (Jaksel)
  • Jalan Matraman
  • Jalan Otista
  • Jalan Raya Cakung (Jaktim)
Sementara untuk wilayah Depok, daerah rawan meliputi Jalan Raya Sawangan dan Jalan Merdeka. Wilayah lain yang termasuk rawan tawuran pelajar adalah Jalan Ahmad Yani dan Jalan Joyomartono di Kota Bekasi, pertigaan kawasan Hyundai dan jembatan fly over Cikarang Kota di Kabupaten Bekasi, Jalan MH Thamrin Cipondoh, dan fly over Jalan Jenderal Sudirman di Kota Tangerang), serta Jalan Raya Serpong Tangerang Selatan di Kota Tangerang Selatan.

   Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
DAMPAK PERKELAHIAN PELAJAR
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

komentar : 
  Jika ditanya siapa yang paling bertanggung jawab atas masalah ini, semua pihak baik keluarga, sekolah maupun pemerintah semuanya mempunyai andil. Namun jika melihat asal-muasal tawuran yang sekadar menuntaskan dendam atas hal-hal sepele, itu menunjukkan sumbu perdamaian sudah teramat pendek. Hal itu sekaligus pula menegaskan dugaan bahwa kekerasan memang telah diternakkan sehingga kian akrab dengan anak bangsa.

  Jelaslah, pelajar kita, para tunas bangsa, memiliki referensi yang cukup untuk berlaku brutal. Mereka menyaksikan tindakan kekerasan entah atas nama agama, suku, atau kelompok--sering kali dibiarkan tanpa tindakan tegas dari aparat negara.
  Fungsi sekolah harus dikembalikan sebagai tempat peserta didik mendapat pembinaan kepribadian, bukan hanya intelektual.

sumber :